Sabtu, 23 November 2013

Developer Indonesia Masih Kurang Pede

Jakarta - Dengan penetrasi seluler di Indonesia yang mencapai 120%, seharusnya ini menjadi ceruk besar bagi perkembangan industri aplikasi lokal. Walaupun pada kenyataanya, hal tersebut belum dikeruk secara potensial.

 Dito Respati, Head of Mobile Apps Developer Community Telkomsel, pernah melakukan survei kecil-kecilan tentang pengguna smartphone di Indonesia. Hasilnya, orang Indonesia menggunakan 189 menitnya untuk menggunakan device.

 "Dari situ sebagian besar atau 62 menit digunakan untuk melakukan komunikasi termasuk social media, chatting atau email. Khusus berselancar di social media mencapai 19 menit," katanya, saat berbincang santai dengan wartawan, di sela-sela acara Startup Asia 2013, di Plaza Bapindo, Jakarta.

 Dito secara khusus menyoroti mengenai booming developer di Indonesia. Menurutnya, banyak pengembang di tanah air yang mempunyai ide kreatif, tapi akhirnya cuma tenggalam begitu saja.

 Dia mencontohkan ada satu aplikasi bernama Gamelan DJ yang sukses mendapatkan 500 ribu downloader di toko aplikasi. Namun sayangnya, aplikasi itu belum bisa menghasilkan uang alias di-monetize.

 "Mindset developer di tanah air kita tuh cuma membuat aplikasi lalu dimasukan ke toko apilikasi, kemudian sudah. Tidak ada kelanjutannya atau bagaimana membuat aplikasi ini menghasilkan uang," ujar Dito.

 Padahal, di toko aplikasi sering sekali developer lokal masih harus bersaing dengan aplikais global. Ini belum termasuk kurangnya dukungan dari pembesut sistem operasi membuka diri ke Indonesia.
Alhasil, banyak dari developer yang hanya memikirkan bagaimana membuat aplikasi dan bukan akan mendapatkan dari aplikasi dari situ. Tak heran, kebanyakan kebanyakan developer di Indonesia masih berbasis B to B (Bussines to Bussines).

 "Membuat aplikasi instant messenger, aplikasi lokal pasti akan terlibas dengan layanan sejenis yang sudah mengglobal. Padahal tak harus membuat aplikasi messenger, bisa saja dukungan terhadap layanan itu,” tambahnya.

 Kurangnya dukungan pembesut Android atau iOS terhadap developer lokal, juga membuat mereka kurang percaya diri menghasilkan uang dari aplkasi yang mereka buat. Alasannya beragam? Karena memang belum ada akses, atau penetrasi kartu kredit di Indonesia yang masih sedikit.

 Padahal aplikasi lokal merupakan aplikasi yang sejatinya paling mengerti apa yang dimaui oleh pengguna di pasar lokal tersebut.

 "Kalau mengandalkan kartu kredit jelas belum bisa diandalkan. Satu-satunya cara saat ini, ya melalui dengan potongan pulsa," kata DIto.

 Telkomsel sendiri sudah melakukan sistem intergrasi billing ini dengan pemotongan pulsa. Bagi konsumen ini tentu saja memudahkan, bagi developer cara mengintegrasikannya pun tak sulit.

 Karakteristik pengguna aplikasi di Indonesia yag ingin men-download aplikasi gratis baru kemudian membayar, juga bisa menjadi pasar potensial. Karena konsumen tanah air lebih menyukai freemium ketimbang paid apps.

 "Telkomsel punya banyak cara agar developer bisa mendapatakan uang dengan sistem potong pulsa ini. Google memang belum membuka sistem ini, tapi karena Android terbuka hal tersebut mungkin saja terjadi,” tandasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar